Indonesia memang terkenal dengan kekayaan budayanya yang beragam, salah satunya adalah tradisi dari komunitas Tionghoa yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
Salah satu tradisi yang masih dijalankan hingga kini adalah Gotong Toapekong. Bagi Kawan yang belum familiar, Toapekong sendiri merujuk pada patung dewa atau leluhur yang dihormati oleh masyarakat Tionghoa.
Dalam tradisi ini, patung Toapekong diarak keliling kota sebagai bentuk penghormatan dan doa untuk kemakmuran serta perlindungan bagi masyarakat.
Diselenggarakan Setiap 12 Tahun Sekali
Tradisi Gotong Toapekong di Kota Tangerang menjadi bagian tak terpisahkan dari kekayaan budaya masyarakat Tionghoa Banten. Ritual arak-arakan patung dewa ini dilakukan setiap 12 tahun sekali dan sudah berlangsung selama lebih dari satu abad.
Kegiatan ini memiliki hubungan erat dengan sejarah Kelenteng Boen Tek Bio, salah satu kelenteng tertua di kawasan tersebut. Asalnya dapat ditelusuri hingga ke masa kedatangan komunitas Tionghoa di Indonesia, terutama di wilayah pesisir seperti Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.
Gotong Toapekong sering kali dilakukan dalam rangka memperingati hari besar keagamaan atau perayaan penting seperti Cap Go Meh, yang jatuh pada hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek.
Gotong Toapekong bermula dari renovasi pertama Kelenteng Boen Tek Bio pada tahun 1844. Pada saat itu, patung dewa-dewa utama dipindahkan sementara ke Kelenteng Boen San Bio di Pasar Baru untuk menghindari kerusakan selama proses renovasi.
Prosesi ini dimulai dari Kelenteng Boen Tek Bio menuju Kelenteng Boen San Bio, lalu kembali lagi ke Boen Tek Bio. Rute ini menjadi napak tilas perjalanan arak-arakan pertama kali dilakukan dan menjadi tradisi turun-temurun yang dilestarikan oleh warga Cina Benteng.
Baca Juga: Memahami Ibadah King Thi Kong Saat Tahun Baru Imlek
Dalam prosesi Gotong Toapekong, terdapat empat patung dewa yang diarak, salah satunya adalah Dewi Kwan In Hud Couw, yang dikenal sebagai Dewi Welas Asih, simbol kasih sayang dan perlindungan.
Kemudian, ada Kwan Tek Kun, Dewa Perang yang melambangkan keberanian dan keadilan. Dewa Kha Lam Ya, yang dipercaya sebagai Dewa Pintu, dan terakhir adalah Hok Tek Ceng Sin, yang dikenal sebagai Dewa Bumi atau Dewa Kemakmuran.
Ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb)
Ritual Gotong Toapekong kini makin dikenal luas, apalagi setelah pada Agustus 2024, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) menetapkan Gotong Toapekong sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb).
Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang menyebutkan bahwa tradisi ini merupakan salah satu bentuk kebudayaan unik di Tangerang yang mendapat apresiasi dari berbagai pihak.
Sejak pertama kali dilakukan sekitar tahun 1856, ritual Gotong Toapekong berkembang menjadi daya tarik wisata yang luar biasa, tidak hanya bagi warga lokal tetapi juga turis mancanegara.
Tradisi ini menjadi simbol kerukunan, toleransi, dan kebersamaan yang kuat di tengah keberagaman masyarakat Tangerang.
Sempat Dilarang Pemerintah
Tradisi Kirab Gotong Toapekong yang sudah ada sejak era Presiden Soekarno sempat terhenti selama delapan tahun pada periode 1990—1998. Larangan ini terjadi di Kota Tegal.
Menurut Chen Li Wei, seorang rohaniawan dari Kelenteng Tek Hay Kiong Tegal, prosesi Kirab Gotong Toapekong dan sembahyang laut di pelabuhan telah menjadi tradisi sejak zaman Soekarno.
Namun, sebelum reformasi, acara ini dilarang, sehingga pengurus kelenteng hanya bisa melaksanakan sembahyang laut dan patung dewa diarak menggunakan mobil, bukan dalam bentuk kirab seperti biasanya.
Penyebab pelarangan ini pun masih menjadi perdebatan. Wali Kota Zakir mengklaim bahwa kebijakan tersebut berasal dari Organisasi Sospol (Sosial Politik), sementara pihak Sospol justru menyatakan larangan itu atas instruksi Wali Kota.
Setelah reformasi tahun 1998, Kirab Gotong Toapekong kembali diperbolehkan dan dapat digelar secara terbuka tanpa adanya hambatan seperti sebelumnya.
Baca Juga: Barongsai di Indonesia: Dulu Dilarang, Kini Menuju Pentas Internasional
Di era modern ini, ada tantangan tersendiri untuk mempertahankan tradisi seperti Gotong Toapekong. Banyak generasi muda yang kurang mengenal budaya leluhur mereka, sehingga perlu upaya dari komunitas dan tokoh masyarakat untuk terus melestarikannya.
Untungnya, dengan bantuan media sosial dan festival budaya, tradisi ini kini lebih sering ditampilkan sebagai bagian dari wisata budaya, menarik banyak perhatian dari wisatawan lokal maupun mancanegara.
Sumber Referensi:
https://bimasbuddha.kemenag.go.id/wamenag-tradisi-gotong-toapekong-merupakan-budaya-yang-harus-dijaga-berita-1434.html
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News