Kabar terbaru dari New Bedford Whaling Museummengungkapkan tentang kerangka-kerangka atau tulang paus yang mengeluarkan minyak walaupun sudah menginjak 26 tahun sejak dimuseumkan. Kerangka paus ini adalah paus biru (Blue Whale) yang diberi nama KOBO (King of the Blue Ocean) yang merupakan kerangka yang ditemukan pada Maret 1998 di haluan kapal tanker.
Tidak hanya itu saja, dari London’s Natural History Museum juga didapatkan yang lebih mengejutkan. Kerangka paus kepala busur (Bowhead Whale) di tempat mereka juga masih mengeluarkan minyak setelah 160 tahun lamanya kerangka ini dimuseumkan.
Sebenarnya hal ini umum terjadi pada mamalia laut, terlebih ketika mereka masih hidup minyak ini akan menjadi faktor utama kelangsungan hidup mereka. Minyak ini sering kali disebut blubber pada mamalia laut.
Seberapa Penting Minyak Mamalia Laut atau Blubber
Bagi sebagian besar mamalia tentunya memiliki cadangan lemak yang bervariasi jumlahnya dalam tubuh. Akan tetapi, pada mamalia laut jumlah lemak ini menjadi bagian dari 50% dari berat tubuhnya dan lemak inilah bagian dari blubber tersebut.
Blubber merupakan lapisan lemak utama yang terletak di bawah dermis (bagian kedua dari epidermis yang melekat pada kulit makhluk hidup). Blubber ini setidaknya memiliki ketebalan bervariasi bahkan antarindividu berbeda.
Anak-anak paus hanya memiliki ketebalan blubber beberapa milimeter saja jika dibandingkan paus dewasa yang dapat mencapai 50 cm tebalnya.
Blubber sangat penting bagi mamalia laut terutama paus karena digunakan sebagai tempat penyimpanan energi atau disebut area lipid yang didalamnya mengandung lemak salah satunya.
Setidaknya dari total keseluruhan bagian blubber pada paus, 93%-nya adalah lipid dan sisanya diisi air. Maka dari itu kandungan lemaknya sangat tinggi pada paus.
Jika konduktor sebagai penghantar panas, maka isolator menjaga panas agar tidak keluar. Begitu pula peran lipid, dengan persentase yang tinggi di tubuh mamalia laut, lipid dapat menjaga suhu hangat (isolator) dan mengatur energi di dalam tubuh setiap mamalia laut walaupun suhu lingkungannya lebih dingin.
Bahkan menurut Michael Castellini dalam bukunya Encyclopedia of Marine Mammals (Third Edition), 2018, bahwa paus maupun anjing laut di kutub utara memiliki suhu kulit yang yang hampir sama di titik beku lingkungannya. Akan tetapi suhu inti dalam tubuh mereka akan tetap sama di angka 37°C karena adanya blubber dan lipid ini.
Blubber ini sangat terkait dengan cadangan energi pada banyak mamalia, terutama saat musim kawin. Banyak mamalia laut yang melakukan puasa sebelum mereka kawin hingga mereka sangat mengandalkan Blubber atau lemak mereka ini sebagai energi pengganti.
Hal ini membuat berat tubuhnya juga semakin berkurang, tapi di sisi lain juga bertambah pada betina yang sedang hamil.
Sebagian besar mamalia laut, kawin dan berkembang biak pada bulan-bulan yang lebih hangat atau di air yang lebih hangat. Dengan demikian, mereka meminimalisir penggunaan energi untuk mengatur suhu tubuh dan lingkungannya.
Maka dari itu blubber sering kali dapat menjadi indikator untuk melihat kondisi nutrisi dan kesehatan mamalia laut. Tidak hanya itu, jumlah blubber yang melimpah juga membuat sumsum tulang mereka mengandung lemak yang dapat membantu mempertahankan daya apung dan membantu paus bergerak lebih hidrodinamis dan efisien.
Baca juga: Whale 52 Hertz : Paus Paling Kesepian Di Dunia
Lemak pada sumsum tulang paus ini sering kali menyulitkan para ilmuwan untuk mebersihkannya. Dengan demikian, masih banyak yang menempel hingga akhirnya luruh seiring waktu hingga menjadi minyak.
Akan tetapi, di balik melimpahnya minyak pada paus dan mamalia laut lain, sayangnya terdapat suatu masa di mana minyak mereka dieksploitasi secara berlebihan oleh manusia.
Eksploitasi Minyak Paus
Setidaknya sejak 3.000 SM perburuan paus hanya digunakan sebagai sumber makanan sampingan. Namun, sejak tahun 1800-an perburuan paus semakin aktif terutama minyaknya. Pada masa itu perburuan paus dilangsungkan karena belum ditemukannya alternatif minyak lainnya. Ini membuat minyak paus digunakan untuk minyak lampu, pelumas, margarin, hingga sabun.
Ditambah revolusi industri dan teknologi seperti kapal mesin dan tombak ledakan membuat perburuan paus menjadi semakin merajalela. Penemuan minyak di Pennsylvania tahun 1859 setidaknya mengurangi jumlah perburuan paus.
Namun, fase ini bertahan secara singkat, sejak perburuan untuk industri semakin marak lagi di abad ke-20 (1900-an). Perburuan ini memiliki dampak yang sangat besar terhadap populasi.
Bahkan, setidaknya terdeteksi hampir 3 juta paus atau Cetacea yang dibunuh. Hal ini mengakibatkan beberapa spesies paus besar terdaftar sebagai spesies yang terancam punah.
Dalam 60 tahun pertama tahun 1900-an, jumlah paus sperma yang ditangkap sama banyaknya dengan yang ditangkap selama dua abad sebelumnya.
Saat ini, paus dilindungi oleh beberapa hukum nasional dan konvensi internasional tahun 1946 yang diatur oleh IWC (International Whaling Commission). Bahkan tahun 1986, IWC menerapkan moratorium perburuan paus pada paus besar, menghentikan perburuan paus komersial.
Moratorium itu telah memberi banyak populasi paus kesempatan untuk pulih dari eksploitasi ekstensif selama abad ke-19 dan ke-20. Walaupun moratorim sudah ditegakkan, tetapi masih terdapat negara yang menolaknya dan tetap melakukan perburuan paus. Terutama negara seperti Norwegia, Islandia, dan Jepang.
Di Indonesia, perburuan paus dilakukan oleh masyarakat di Desa Lamalera, Pulau Lembata, NTT. Namun, perburuan ini hanya menjadi tradisi yang sudah dilakukan selama ratusan tahun sebagai kebutuhan pangan sekunder.
Bahkan ICW telah mendefinisikan bahwa perburuan paus di Lamalera masih diperbolehkan karena termasuk perburuan tradisional. Akan tetapi, tentunya perlu pengontrolan agar mamalia laut ini tidak menjadi eksploitasi dengan cara pelestarian.
Baca juga: Lamalera, Paus, dan Tradisi
Maka dari itu aksi penyelamatan dan penolakan perburuan paus untuk diambil daging dan minyaknya terus dilangsungkan hingga sekarang. Hingga menjadi semangat yang besar untuk melestarikan dan pemulihan paus oleh aktivis-aktivis lingkungan di dunia.
Referensi
- Kershaw, Joanna & Brownlow, Andrew & Ramp, Christian & Miller, Patrick & Hall, Ailsa. (2019). Assessing cetacean body condition: Is total lipid content in blubber biopsies a useful monitoring tool?. Aquatic Conservation: Marine and Freshwater Ecosystems. 29. 271-282. 10.1002/aqc.3105.
- https://www.iflscience.com/26-years-after-it-died-this-blue-whales-skeleton-is-still-oozing-oil-76502
- Brennecke et al. (eds.) (2023). Marine Mammals. Springer. https://doi.org/10.1007/978-3-031-06836-2_1
- Michael Castellini, Thermoregulation, Editor(s): Bernd Würsig, J.G.M. Thewissen, Kit M. Kovacs. Encyclopedia of Marine Mammals (Third Edition), Academic Press (2018), Pages 1166-1171, ISBN 978-0-12-804327-1, https://doi.org/10.1016/C2015-0-00820-6. (https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780123735539002674)
- https://theconversation.com/perburuan-tradisional-paus-lamalera-bisa-lestari-dua-langkah-awal-yang-bisa-diambil-120892#:~:text=Indonesia%20juga%20memiliki%20tradisi%20berburu,ratusan%20tahun%20untuk%20kebutuhan%20pangan.
- https://www.sciencedirect.com/topics/agricultural-and-biological-sciences/blubber
- https://www.popsci.com/science/blue-whale-leaking-oil/
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News