Jogja tidak hanya terkenal sebagai kota yang penuh akan sejarah dan budaya yang masih mengakar. Namun, kota ini juga memiliki beragam makanan tradisional yang unik dan patut dicoba. Salah satunya adalah mi lethek, sajian mi khas dari Bantul yang terkenal dengan tampilan yang sederhana, tapi memiliki rasa dan filosofi yang mendalam.
Meski belum seterkenal gudeg, mi ini menjadi bukti kuliner lokal yang masih bertahan di tengah gempuran modernisasi makanan saat ini.
Yuk, Kawan! Kita cari tahu asal-usul dan keunikan dari mie lethek.
Apa Itu Mie Lethek?
Lethek dalam bahasa Jawa mempunyai arti “kusam” atau “kotor”. Nama ini merujuk pada warna mi yang cokelat kusam dan cenderung gelap jika dibandingkan dengan produk mi yang biasanya dijumpai.
Namun, di balik tampilannya yang sederhana dan mungkin tidak menarik bagi sebagian orang, mi lethek menyimpan sejarah tentang kuliner tradisional yang berbasis bahan baku setempat.
Produksi mi lethek diperkirakan sudah ada sejak tahun 1940-an dan pabrik pertamanya didirikan oleh seseorang yang berasal dari Timur Tengah. Kemudian, masyarakat setempat mengembangkan makanan tersebut sebagai alternatif pangan yang murah dan mudah dibuat menggunakan bahan-bahan lokal.
Bahan utama mi lethek adalah tepung tapioka dan gaplek (singkong yang telah dikeringkan), bahan makanan yang melimpah di daerah Bantul.
Berbeda dari kebanyakan mi yang sering kali menggunakan bahan pengawet atau pewarna, mi lethek terbuat dari bahan-bahan alami. Dengan demikian, tidak heran jika tampilannya lebih kusam.
Dikutip dari detik.com (2024), Yasir Ferry yang merupakan generasi ketiga pembuat mi lethek mengatakan bahwa mi khas Bantul ini sudah diakui sebagai warisan budaya takbenda dari Kemendikbudristek sejak 2019.
Baca juga: Selalu Laris! Mari Nikmati 5 Kuliner Malam Yogyakarta yang Wajib Dicoba
Pembuatan Mi yang Masih Tradisional
Keunikan mi lethek tidak hanya terletak pada bahan-bahannya. Namun, juga pada cara pembuatannya yang masih sangat tradisional.
Di pabrik-pabrik rumahan di Bantul, proses pembuatan mi lethek masih menggunakan tenaga sapi sebagai penggerak mesin penggiling adonan. Ini adalah pemandangan yang cukup langka di era modern saat ini, di mana hampir semua proses produksi menggunakan mesin.
Sapi-sapi tersebut akan berjalan memutar untuk menggerakkan roda besar yang berfungsi untuk menggiling campuran tepung tapioka dan gaplek. Setelah digiling, adonan tersebut kemudian diuleni, dipres, dan dibentuk menjadi lembaran-lembaran mi, sebelum dikeringkan secara alami di bawah sinar matahari.
Dari hasil wawancara VOA Indonesia(2017) dengan Subeno yang merupakan pemilik pabrik mie lethek Talang Berkah Jaya, ia mengatakan bahwa proses pengeringan memakan waktu yang cukup lama dan membutuhkan banyak tenaga karena masih mengandalkan sinar matahari.
Warna dari mi lethekjuga bergantung pada cuaca saat proses pengeringan, sehingga pada musim penghujan warna mi dapat berubah menjadi lebih gelap atau hitam.
Baca juga: Mencicipi Lezatnya Sate Ratu Jogja yang Jadi Andalan Wisata Kuliner Yogyakarta
Hidangan yang Sederhana dan Menggugah Selera
Mi lethek biasanya disajikan dengan cara yang sangat sederhana, bisa direbus menjadi mi kuah atau ditumis menjadi mi goreng. Mi lethek kuah (godog) biasanya disajikan dengan kaldu ayam kampung atau kaldu sapi yang gurih, lengkap dengan irisan sayuran seperti sawi dan kol, serta tambahan telur atau ayam suwir.
Sedangkan, mi lethek goreng dimasak dengan bumbu-bumbu sederhana seperti bawang putih, bawang merah, kecap, dan cabai, dengan topping yang hampir sama dengan mi lethek kuah.
Walaupun tampilannya tidak semenarik hidangan kekinian, rasa mi lethek sangatlah nikmat. Tekstur mi yang kenyal dengan rasa yang ringan dan alami membuatnya bisa diterima oleh lidah siapa pun, termasuk mereka yang baru mencicipinya untuk pertama kali.
Salah Satu Kuliner yang Harus Dilestarikan
Salah satu aspek yang membuat mi lethek begitu istimewa adalah filosofi di baliknya, yaitu kesederhanaan. Dalam budaya Jawa, makanan tidak hanya dilihat sebagai pengisi perut, tetapi juga sebagai cara untuk menghormati alam dan proses pembuatan makanan itu sendiri.
Dengan bahan-bahan alami dan proses pembuatan yang memerlukan banyak tenaga, mi lethek adalah bentuk penghormatan terhadap alam dan waktu.
Di tengah maraknya modernisasi dan perubahan gaya hidup, mi lethek tetap menjadi salah satu kuliner tradisional yang bertahan. Seperti banyak warisan budaya lainnya, mi lethek membutuhkan perhatian lebih agar tidak hilang tergerus zaman.
Kini, beberapa restoran di Yogyakarta sudah mulai memasukkan makanan tersebut dalam daftar menu mereka. Hal ini merupakan langkah positif untuk memperkenalkan mi lethek kepada generasi muda dan wisatawan.
Buat Kawan GNFI yang punya rencana ke Yogyakarta, mi lethek wajib masuk ke dalam daftar kuliner yang harus dicicipi saat berkunjung. Jadi, tidak hanya menikmati sebuah hidangan saja, tetapi Kawan GNFI juga turut melestarikan kuliner tradisional yang kaya sejarah dan nilai budaya.
Sumber:
- https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/mie-lethek-2/
- https://www.detik.com/jogja/kuliner/d-7357149/mengintip-pembuatan-mi-lethek-bantul-warisan-budaya-sejak-1940
- https://www.voaindonesia.com/a/mie-lethek-makanan-organik-lokal-yang-digemari-obama/3926806.html
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News