regina safri sebut alasan semakin banyaknya konflik satwa liar dengan manusia - News | Good News From Indonesia 2024

Regina Safri Sebut Alasan Semakin Banyaknya Konflik Satwa Liar dengan Manusia

Regina Safri Sebut Alasan Semakin Banyaknya Konflik Satwa Liar dengan Manusia
images info

Regina Safri adalah fotografer alam liar yang sudah dikenal di dunia fotografi Indonesia. Lewat karya fotonya ia bersuara bahwa kehidupan di dalam rimba tanah air tidak beres selama bertahun-tahun.

Kepedulian Regina terhadap satwa liar yang tinggi itu datang pada 2011. Saat itu ia merasa harus berbuat sesuatu setelah melihat pembantaian orangutan. Langkahnya menjadi fotografer alam liar pun dimulai.

Keresahan demi keresahan dirasakan Regina melihat nasib satwa liar yang bertahun-tahun menjadi objek fotonya. Dari banyaknya pengalaman sekaligus penelitian, ia pun melahirkan beberapa alasan dan gagasan agar tidak tercipta lagi konflik yang merugikan satwa liar.

Dataran Rendah yang Semakin Sempit

Indonesia yang terdiri dari beberapa gugusan pulau besar dan kecil memanglah terbilang luas juga pas bagi ditinggali makhluk hidup terutama manusia. Namun, semakin bertumbuhnya angka kelahiran, tanah yang luas itu akan menyempit juga karena dijadikan tempat tinggal.

Hutan pun dibabat untuk dialihfungsikan menjadi kebun atau mendirikan bangunan untuk didiami. Hasilnya, rimba tempat satwa liar bermukim semakin sempit dan semakin mudah mereka bertemu juga berkonflik dengan manusia.

 “Yang pertama memang dataran rendah kita tuh udah sempit, jadi ini kayak rebutan ruang. Di sinilah konflik itu, satu dataran rendah berkurang drastis,” ucap Regina kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.

Menurut Regina, sebenarnya kearifan lokal dengan satwa liar sudah ada di sejumlah masyarakat Indonesia. Manusia dan satwa liar hidup dalam harmoni sehingga konflik-konflik seperti sekarang ini sangat jarang terjadi.

“Zaman dulu di Aceh, mereka berbagi hasil panen sama orangutan, sama harimau. Jadi ketika misalnya ada durian jatuh yang pertama kali itu diserahkan ke harimau sebagai persembahan atau kebun yang biasa dilewati gajah mereka akan merelakan kebunnya ‘silakan kalau mau makan, tapi jangan dirusak ya’, misalnya gitu, berbagi. Jadi enggak terlalu tinggi tingkat konfliknya,” kata Regina.

Dunia lambat laun berubah. Pada era teknologi seperti sekarang ini, kearifan lokal seperti itu pun seolah ditinggali. Regina pun menganggap dengan nilai-nilai kearifan lokal yang semakin berkurang itu, rasa toleransi kepada satwa liar juga berkurang yang membuat kehidupan mereka di hutan terganggu oleh ulah manusia.

“Orang sudah sibuk main handphone, gadget, sehingga kearifan lokal itu pelan-pelan hilang, pudar. Jadi enggak cuma dataran rendahnya hilang, toleransi kita juga sudah menipis. Rasa belas kasih dan edukasi kita pun mulai berkurang,” ucapnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dimas Wahyu Indrajaya lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dimas Wahyu Indrajaya.

DW
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.