memanjatkan doa yang tak terhenti bersama masyarakat desa temon melalui tradisi kenduri - News | Good News From Indonesia 2024

Memanjatkan Doa yang Tak Terhenti bersama Masyarakat Desa Temon melalui Tradisi Kenduri

Memanjatkan Doa yang Tak Terhenti bersama Masyarakat Desa Temon melalui Tradisi Kenduri
images info

Apakah Kawan GNFI sudah akrab dengan istilah kenduri atau genduren? Kenduri adalah salah satu tradisi di masyarakat yang bertujuan untuk memanjatkan doa kepada Tuhan YME atas rasa syukur yang diterima, misalnya karena mendapatkan kabar baik tertentu maupun berhasil mencapai kesuksesan tertentu.

Di Desa Temon, masyarakat masih merawat tradisi ini dengan baik. Tiada minggu tanpa pelaksanaan kenduri di desa ini. Pelaksanaan kenduri biasanya dilakukan pada malam Jumat yang bertempat di rumah warga.

Setelah ibadah salat Isya, para bapak dan pemuda biasanya berbondong-bondong menuju rumah penyelenggara kenduri. Para ibu dan pemudi mempersiapkan ubarampe atau kelengkapan yang akan digunakan dalam pelaksanaan kenduri.

Setiap pelaksanaan kenduri di Temon, terdapat beberapa ubarampe yang wajib tersedia. Ubarampe pertama adalah ayam kampung yang dimasak dengan cara di-ingkung atau dimasak utuh dengan rempah-rempah.

Selain itu, terdapat piring berisi nasi yang sudah dibentuk seperti gunungan sejumlah anggota keluarga penyelenggara kenduri yang disebut sega tulak. Terkadang, terdapat piring lain berisikan jenang merah dan jenang putih berbahan dasar ketan yang disebut dengan jenang tulak. Abu atau kopi diletakkan di atas nasi dan jenang sebelum akhirnya ubarampe tersebut diletakkan di tengah-tengah hadirin.

Ubarampe yang digunakan saat kenduri di Dusun Gading, Desa Temon pada Kamis (08/08) (foto: Dokumentasi pribadi)
info gambar

Deretan ubarampe yang digunakan pada gelaran kenduri terebut memiliki filosofi yang berbeda-beda. Ayam ingkung misalnya, dipercaya sebagai simbol memanjatkan doa dan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa.

Bentuk ayam yang dimasak utuh menggambarkan manusia yang sedang bersujud. Hal ini yang membuat ayam ingkung tidak pernah absen dalam perayaan kenduri dan syukuran di daerah berbudaya Jawa.

Ubarampe yang tak kalah unik dari perayaan kenduri di Desa Temon adalah sega tulak.Sega tulak secara harfiah berarti “nasi tolak”. Bentuknya berupa nasi yang sudah dibentuk gunungan sejumlah anggota keluarga di rumah tersebut.

Di atas nasi ditaburi dengan abu atau kopi. Makna dari sega tulak sendiri adalah penolak bala. Masyarakat berharap agar seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut dapat terhindar dari bala atau musibah, sesuai dengan jumlah gunungannya.

Sega tulak dan Jenang tulak saat pelaksanaan kenduri di Dusun Gading, Desa Temon pada Kamis (04/07) (foto: Dokumentasi pribadi)
info gambar

Terakhir, ubarampe yang digunakan adalah jenang tulak. Jenang yang terdiri dari jenang ketan berwarna merah dan putih ini sebetulnya sama dengan jenang merah putih lain yang biasa kita temui di acara syukuran.

Hanya saja, penyajian jenang merah putih dan dipisah tiap warnanya dan penggunaan taburan abu atau kopi di atas jenang menjadikan jenang ini lebih spesial. Masyarakat menganggap jenang ini merupakan sebuah simbolisasi penolakan hal-hal negatif dalam diri seseorang sehingga dapat menghindarkan orang-orang dari marabahaya.

Dalam prosesi kenduri, ubarampe tersebut lantas akan didoakan kemudian dibawa kembali ke dapur. Di sana, para ibu dan pemudi akan memotong-motong ayam ingkung yang sudah didoakan, kemudian dibagikan rata pada suguhan yang sudah disiapkan.

Biasanya, suguhan yang disiapkan antara lain soto atau sate ayam yang dilengkapi dengan kuah kaldu ayam. Hal ini ditujukan agar seluruh hadirin mendapatkan berkah dari ayam yang sudah didoakan bersama-sama.

Setelah makan bersama, biasanya para bapak dan pemuda tidak langsung pulang begitu saja. Kopi dan teh akan disajikan lalu obrolan antar masyarakat pun digelar. Kehangatan itu yang membuat kenduri masih menjadi tradisi yang dipeluk erat di Desa Temon.

Dengan kenduri, masyarakat tetap dapat mengetahui kabar dari masing-masing rumah walaupun tanpa teknologi digital seperti gawai sekalipun. Masyarakat tetap hidup dapat memelihara kerukunan di bawah langit Temon.

Tradisi inilah yang menjaga detak jantung kehidupan desa. Tradisi ini pula yang membuat desa menjadi tempat hidup tentram berkecukupan, jauh dari hiruk pikuk kota yang penuh angan-angan.

 

Penulis: Kalisya Ainun, Tim KKN-PPM UGM Temon 2024

Fotografer: Kalisya Ainun

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KU
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.