Kawan GNFI pasti tidak asing dengan produk-produk herbal kekinian seperti jamu diet, ramuan JSR (Jurus Sehat Rasulullah), dan lain sebagainya. Bahan baku dari produk-produk tersebut yakni, empon-empon, tumbuh liar dan dibudidayakan dengan subur di setiap sudut Desa Temon, Pacitan.
Sayangnya, pemanfaatan empon-empon masih dilakukan secara sederhana dan kerap diolah untuk memenuhi permintaan tengkulak atau dikonsumsi mandiri saja. Untuk itu, Tim KKN-PPM UGM Temon 2024 memperkenalkan inovasi jamu celup sebagai harapan baru pengolahan empon-empon bagi masyarakat yang berkelanjutan.
Menurut tradisi lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi, nama Desa Temon muncul dari banyaknya tanaman temulawak yang mudah ditemukan di penjuru desa. Selain temulawak, empon-empon lain seperti kencur dan jahe juga tumbuh dengan subur di tanah desa ini. Desa Temon merupakan surga bagi segala jenis bahan jamu-jamuan.
Sejak beratus tahun lalu, masyarakat di desa ini sudah bertani empon-empon. Mbah Narti misalnya, mengaku bahwa ia sudah mulai bertani semenjak ia sudah bisa “bekerja”. Selain empon-empon, Mbah Narti juga bertani ketela, jagung, dan lain sebagainya. Saat ditemui di rumahnya di Dusun Gading, Desa Temon, pada Selasa (13/08), Mbah Narti menyampaikan bahwa pengolahan empon-empon yang dipanen oleh para petani di desa sejak dahulu masih minim. Ia menuturkan bahwa hasil tani yang biasa ia olah terlebih dahulu hanya ketela saja.
“Kalau temulawak iya, dikeringin, kalau kunyit di jual basah. Kalau ketela kadang dibikin opak tela, terus dijual. Kadang dibikin gaplek,” tuturnya. Biasanya, petani hanya mengolah empon-empon yang didapatkan dengan cara dikeringkan kemudian dijual ke pengepul, atau bahkan dijual dalam kondisi basah (segar) begitu saja.
Para petani berharap dapat mengolah empon-empon agar memiliki nilai jual yang lebih tinggi sebelum dijual ke pengepul. Mereka juga berharap dapat menjual hasil tani itu secara mandiri. “Kalau ada yang melatih, atau pelatihan gitu, ya pengen mengolah. Kan, disini banyak (empon-emponnya).
Selain punya sendiri, punya tetangga, kan, banyak yang dijual seperti itu (dijual basah),” ungkap Mbah Narti. Hal ini menjadi salah satu tanda bahwa petani empon-empon di Desa Temon memerlukan inovasi diversifikasi atau penganekaragaman inovasi pangan. Agar mereka dapat memproduksi hasil taninya secara mandiri dengan memanfaatkan potensi alam yang tersedia melimpah di sekitarnya. Jamu celup menjadi salah satu solusi yang dapat menjawab kebutuhan ini.
Pengolahan Empon-empon yang Berkelanjutan melalui Inovasi Jamu Celup
Untuk Kawan GNFI yang suka mengonsumsi minuman herbal seperti jamu, tetapi memiliki mobilitas yang tinggi dan tidak punya waktu untuk membeli jamu, jamu celup mungkin dapat dijadikan solusi. Berbekal observasi dan keresahan atas kurangnya pengolahan empon-empon di tanah empunya empon-empon, Ni Kadek Dea Ranisa, anggota Tim KKN-PPM UGM Temon 2024, beserta tim melakukan inovasi pembuatan jamu celup sebagai salah satu upaya pengolahan empon-empon yang berkelanjutan bagi warga Desa Temon.
Mengadopsi konsep teh celup yang dapat diseduh di manapun dengan mudah, Dea mencetuskan ide jamu celup sebagai produk olahan empon-empon yang dapat diterapkan oleh masyarakat. Jamu celup ini diberi nama “Moemon” yang merupakan singkatan dari Jamoe Temon.
Saat ini, Jamu Celup Moemon memiliki dua varian rasa yaitu beras kencur dan kunyit asem. Satu kantong jamu celup dapat digunakan untuk satu kali konsumsi. Waktu yang diperlukan untuk menyeduh satu kantong jamu ini adalah lima menit menggunakan air panas. Setelah diseduh, jamu sudah langsung siap untuk dikonsumsi tanpa perlu menambahkan gula.
Menurut Dea dan tim, rasa dari jamu celup ini bisa disandingkan dengan jamu cair yang dijual oleh penjual jamu tradisional. Menurut acuan literatur yang digunakan oleh Dea, waktu simpan jamu celup pun relatif lama yakni satu bulan sejak tanggal pembuatan.
Saat ditemui di Pondokan Tim KKN-PPM UGM Desa Temon pada Selasa (13/08), ia menuturkan bahwa konsep jamu celup ini dirancang agar masyarakat dapat mereplikasi olahan ini di rumah sehingga dapat dipasarkan. Dea menuturkan bahwa alat dan bahan yang dibutuhkan untuk membuat jamu celup ini sangat mudah untuk ditemukan, terlebih hampir tiap rumah di Desa Temon memiliki stok empon-empon kering seperti kunyit dan kencur yang dibutuhkan dalam pembuatan jamu celup ini.
Tim KKN-PPM UGM Temon 2024 juga telah melakukan sosialisasi dengan ibu-ibu PKK di Desa Temon agar para ibu dapat mencoba pembuatan jamu celup ini di rumah. Dengan demikian, para ibu dapat mencoba meningkatkan nilai jual hasil panen empon-empon yang mereka miliki. “Harapannya supaya nanti (bisa diolah) mungkin dari skala rumah tangga dulu, dijual, terus kan nanti (harapannya) biar pasarnya bisa semakin luas,” ungkapnya.
Terlepas dari inovasi ini, Dea juga mengungkapkan bahwa masih banyak hal yang dapat ditingkatkan agar produksi jamu celup dapat dilakukan secara masif. Yakni dengan melakukan uji lab terkait kandungan dan izin pemasaran secara masif. “Kurangnya karena kita belum ada uji labnya, sih, sebenernya.
Kandungannya itu kita (Tim KKN-PPM UGM Temon) masih kira-kira aja, belum ada pasti takarannya seberapa (banyak), dalam satu kantong teh itu belum pasti. Untuk dipasarkan ke pasar yang lebih luas, kan, juga perlu ada (izin) BPOM, uji halal.
Masa kadaluarsanya juga belum tau,” ujarnya. Ia berharap agar kedepannya masyarakat dapat terus mengembangkan dan mengupayakan agar Jamu Celup Moemon dapat menjadi salah satu andalan dalam perekonomian masyarakat Desa Temon.
Penulis : Kalisya Ainun, Tim KKN PPM UGM Temon Tahun 2024
Fotografer : Kalisya Ainun
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News