Ibrahim pernah mendeklarasikan dirinya adalah makhluk yang paling mencintai Allah. Untuk menguji keabsahan apa yang sudah diucapkan Ibrahim, Allah memerintahkan Ibrahim mengorbankan anakknya. Terdapat kegundahan di awal Ibrahim menerima perintah itu, terlebih konon keberatan hati Ibrahim karena Beliau ditakdir agak lama dikaruniai keturunan, sehingga menyembelih anak bukan perkara mudah. Namun, dalam membuktikan keseriusannya, akhirnya ia rela, pasrah, atau barangkali ikhlas anaknya dikorbankan. Dan peristiwa itu lah yang kita kenang di setiap lebaran haji.
Perjalanan spiritual semacam itu, mulai dari kekalutan, gundah, dan sengkarut dan diakhiri dengan kelegaan, rela, dan mungkin ikhlas akan Kawan GNFI temukan di album terbaru Barasuara yang dilepas tanggal 21 Juni kemarin “Jalaran Sadrah”.
Ini adalah album Barasuara yang paling membuat saya sesak napas. Temanya penuh dengan kritik pada polah tingkah manusia modern yang merasa paling yahut ini.
Kritik yang dilepas muncul dalam banyak aspek seperti kesombongan, kepongahan, tunduknya pada positivisme sosmed, keangkuhan, suka membinasakan liyan, sampai merasa paling berkuasa sampai merasa bisa mengatur semua. Astagfirullah.
Beberapa kali barasuara menyampaikan bahwa dunia ini fana, bahkan ada satu lagu khusus yang mengulas itu: merayakan fana. Sudah sejak track 1, Barasuara berkali-kali mengucap fana dunia baik secara eksplisit atau implisit.
Selain kefanaan, tema yang sering muncul adalah soal kematian. Sehingga, selain sesak nafas, saya juga entah sudah berapa kali jatuh air mata.
Salah satu lagu yang paling menguras emosi saya adalah “Fatalis”. Ini adalah lagu yang merekam pandemi yang menghantam kita pada 2020 lalu. Kalau Kawan GNFI memiliki keluarga yang gagal melewati pandemi, kalau Kawan GNFI sebal dengan urusan kesehatan tapi ditangani dengan kacamata ekonomi, kalau Kawan GNFI pernah merasa ketakutan melihat update angka pertumbuhan korban dan pasien covid tiap hari, Kawan GNFI juga parno ketika banyak ambulan lalu lalang, dan Kawan GNFI geram dengan korban yang dihitung sebatas angka, bukan sebagai manusia. Lagu ini mewakili Kawan-kawan semua.
Selain pengalaman kematian karena pandemi, terdapat juga pengalaman kematian dalam bentuk lain. Semisal pengalaman kematian yang melibatkan orang tua dan genosida yang dibiarkan saat ini. Getir wes album ini.
***
Getir yang disuguhkan Barasuara dan kisah Ibrahim mengisyaratkan pada kita tentang suramnya kemelekatan. Kemelekatan adalah kondisi di mana kita meletakkan harapan, menautkan hati, dan menjadikan pusat hidup pada sesuatu yang bersifat duniawi. Sesuatu yang disebut Barasuara pada album ini sebagai sesuatu yang fana.
Dalam kisah kurban Ibrahim, salah satu hikmah paling nyata adalah tentang “memotong” tertautnya hati kita sebagai manusia pada kemelekatan dunia.
Hidup kita, lebih-lebih di era yang katanya modern ini, kadang terlampau melekat pada sesuatu yang seharusnya tidak diperlakukan begitu.
Kemelekatan kita sebagai manusia bisa berbeda-beda. Ada orang yang melekat dengan uang, ada yang melekat pada popularitas, lalu ada yang melekat pada anak, jabatan, dan lain sebagainya.
Masalahnya adalah kekalutan, gundah, dan sengkarut anak adam ini ya karena kemelekatan itu.
Kemelekatan memberikan efek sakit, terlebih saat manusia gagal mendapatkan apa yang dilekati atau yang dikelati telah hilang.
Duniawi yang dilekati ini sejatinya adalah hal yang ada di luar manusia, di luar dari apa yang dapat dikontrol. Dalam paradigma 7 habit, kesakitan itu karena kita membiarkan diri melekat pada daerah lingkaran perhatian. Manusia gagal mengkondisikan dan tidak sadar telah ditundukkan, barangkali, ego atau nafsu.
Kisah Ibrahim pada intinya mengajarkan tentang perlunya kita mengendalikan ego dengan mau berkurban pada hal yang menurutnya sangat berharga dan kita lekati. Memberikan jarak yang pas, karena terlalu jauh tidak bisa hidup, terlalu melekat mudah sakit.
Sementara Barasuara mengajak kita bermain-main dengan kematian, kemelekatan, dan sengkarut dunia sampai akhirnya kita dibuat sadar bahwa di dunia ini ada sesuatu yang dapat kita kontrol dan tidak dapat kita kontrol. Dan Sadrah di sini, mungkin, datang ketika kita mulai sadar akan hal itu.
Kenapa kita pasrah, rela, dan ridho? Karena kita sadar bahwa kita biasa saja dan terbatas.
***
Selain urusan makna, barasuara tentu tidak lengkap rasanya kalau tidak dibahas tentang lirik dan musiknya. Namun pendek saja, lain kali ditulis lagi.
Intinya saya respect betul pada lirik-lirik dari Jalaran Sadrah karena sering dipungkasi dengan kata yang terlampau bagus, nonjok, dan menohok.
Banyak diksi-diksi Bahasa Jawa yang dimasukkan, mungkin karena Iga Massardi berkawan baik dengan Farid Stevy FSTVLST. hehe.
Dalam musik, Barasuara tetap tumbuh. Mereka tidak terpaku pada apa yang pasar suka, mereka mengikuti wejangan Cholil Mahmud bahwa pasar bisa diciptakan. Jalaran Sadrah komposisi musiknya kaya dan lebih kompleks dari album-album sebelumnya.
Dan, album ini lebih spesial lagi karena visualnya melibatkan karya lettering dari Farid Stevy yang sangat ikonik itu.
Akhirnya, ini adalah catatan spiritual yang kompleks. Saya sesak napas sampai track 5. Track nomor 6, 7, dan 8 adalah klimaks.
Pernah kan menangis tapi lega, nah itu saya rasakan saat berada di tengah “Biyang” dan “Hitam dan Biru”.
Album ini dipungkasi dengan track nomor 9 dengan judul manusia. Dan disitulah kesegaran itu datang. Kerelaan itu datang.
Dari album ini, saya, minimal belajar bahwa untuk keluar dari sengkarut kemelekatan adalah bukan fokus keluar, bukan dengan meminta pihak lain menyesuaikan diri apalagi memarahi. Kebahagiaan itu mula-mula muncul saat kita masuk ke dalam diri kita. Saat kita mulai menerima keadaan. Saat kita sadar siapa kita sebagai manusia, saat kita tahu peran kita sebagai manusia, dan saat kita kenal siapa kita, di situ kita baru akan mengenal Tuhan kita.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News