Masjid Raya Sumatera Barat atau yang dikenal juga dengan nama Masjid Mahligai Minang merupakan salah satu masjid terbesar di Indonesia sekaligus menjadi yang terbesar di Provinsi Sumatera Barat.
Masjid berarsitektur unik ini terletak di Jl. Khatib Sulaiman, Desa Alai Parak Kopi, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang.
Menjadi salah satu landmark Kota Padang dan dinobatkan sebagai masjid dengan arsitektur terbaik di dunia pada 2021, mari ungkap sejarah hingga keunikan dan filosofi yang terkandung pada setiap sudut arsitekturnya melalui ulasan berikut.
Sejarah Pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat
Pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat dimulai pada 21 Desember 2007 yang ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Gamawan Fauzi selaku Gubernur Sumatera Barat saat itu.
Pun demikian, gagasan pembangunan masjid ini sebenarnya telah bergulir sejak 2005 dan didasarkan pada keinginan untuk membuat masjid yang representatif dan berkapasitas besar yang belum dimiliki oleh Kota Padang selaku ibu kota provinsi Sumatera Barat.
Untuk mewujudkan gagasan tersebut, Pemprov Sumbar pun mengadakan sayembara dengan total hadiah 300 juta rupiah untuk menentukan rancangan bangunan masjid. Sayembara ini diikuti oleh 323 arsitek yang berasal dari berbagai negara.
Terdapat total 71 desain yang masuk, lalu kemudian diseleksi oleh dewan juri yang terdiri dari arsitek Eko Alvares, sastrawan Wisran Hadi, dan ulama Nasrun Haroen.
Sayembara ini dimenangkan oleh tim yang diketuai seorang arsitek bernama Rizal Muslimin bersama tiga orang anggotanya yakni Ropik Adnan, Muh. Yuliansyah, dan Irvan P. Darwis yang membuat rancangan desain masjid yang unik berupa bangunan persegi dengan atap berbentuk gonjong.
Digadang-gadang akan menjadi masjid terbesar, pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat menelan biaya sekitar Rp 342 miliar, yang sebagian besar berasal dari APBD Sumatera Barat. Pengerjaannya dilakukan secara bertahap oleh PT. Total Bangun Persada dan memakan waktu selama 11 tahun karena keterbatasan anggaran.
Keterbatasan anggaran ini jugalah yang membuat, sistematika pembangunan mengalami perubahan. Karena pada rencana awal, Masjid Raya Sumatera Barat sejatinya akan didesain dengan konstruksi tahan gempa dengan perkiraan biaya sekitar Rp 600 miliar.
Jumlah menara pun yang semula berjumlah 4 buah, dikurangi menjadi 1 buah saja untuk memangkas anggaran.
Sebenarnya, kerajaan Arab Saudi pernah mengirim dana bantuan sekitar Rp 500 miliar untuk pembangunan masjid. Namun, musibah gempa bumi yang terjadi di Kota Padang pada 2009 membuat dana bantuan tersebut akhirnya dialihkan oleh pemerintah pusat untuk keperluan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Namun, meski dengan segala kendala yang ada, pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat akhirnya rampung pada 4 Januari 2019.
Arsitektur dan Filosofi Masjid Raya Sumatera Barat
Masjid Raya Sumatera Barat memang kental dengan arsitektur modern berbalut budaya khas Minang. Masjid seluas 40.343 meter persegi yang terdiri dari tiga lantai ini diperkirakan dapat menampung total hingga 20 ribu jemaah, 15 ribu jamaah di lantai dasar dan masing-masing 5 ribu jamaah pada lantai dua dan tiga.
Daya tarik utama masjid ini, tentu saja terdapat pada bagian atapnya yang tak memiliki kubah seperti masjid pada umumnya, melainkan berbentuk gonjong yang merupakan ciri khas rumah adat Minangkabau yaitu rumah Gadang.
Bukan hanya merepresentasikan simbol kebesaran Minangkabau, empat sudut lancip di bagian atap masjid ini juga terinspirasi, dari bentuk bentangan kain ketika empat kabilah suku Quraisy di Mekkah berbagi kehormatan untuk memindahkan batu Hajar Aswad.
Dengan demikian, penggunaan atap bergonjong ini menjadi bentuk akulturasi antara budaya Islam dan Minangkabau yang bersinergi secara harmonis.
Bukan hanya pada bagian atap, unsur budaya khas Minang juga ditunjukkan dari corak ukiran Minangkabau pada dinding-dindingnya.
Merujuk pada sang arsitek bangunan, desain Masjid Raya Sumatera Barat didasarkan pada tiga simbol kehidupan yaitu mata air, bulan sabit dan rumah gadang.
Secara keseluruhan, desain bangunan juga sesuai dengan falsafah adat masyarakat Minangkabau yaitu “Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah” yang memiliki makna bahwa adat dan agama adalah dua hal yang senantiasa berjalan beriringan.
Selain bangunan masjid yang megah dengan arsitektur yang khas, terdapat menara setinggi 85 meter di bagian samping bangunan masjid yang dibuka untuk umum sebagai tempat wisata. Para pengunjung yang ingin menikmati panorama dari atas menara dapat naik menggunakan lift.
Masuk ke bagian interior, terdapat mihrab yang bentuknya menyerupai batu Hajar Aswad dengan latar belakang warna dominan putih dilengkapi ukiran kaligrafi Asma’ul Husna di bagian atas mihrab.
Setiap harinya, landmark Kota Padang yang satu ini tak pernah sepi, baik itu oleh masyarakat yang ingin beribadah maupun para wisatawan yang ingin berwisata religi.
Keindahan arsitektur dan kemegahannya yang memukau bahkan berhasil mengantarkannya memenangkan penghargaan masjid dengan arsitektur terbaik di 2021 dari Abdullatif Al Fozan Award for Mosque Architecture (AFAMA) mengalahkan 201 desain masjid dari 43 negara di dunia.
Referensi :
https://masjidraya.sumbarprov.go.id/home/profile/3
https://masjidraya.sumbarprov.go.id/home/profile/4
https://masjidraya.sumbarprov.go.id/home/profile/14
https://core.ac.uk/download/pdf/230918169.pdf
https://unp.ac.id/pages/tentang_padang
https://padang.go.id/masjid-raya-sumatera-barat-3110
https://indonesiavirtualtour.com/wisata-virtual/masjid-raya-sumatera-barat
https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Raya_Sumatera_Barat
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News