KTT Perdamaian Ukraina (Peace Summit for Ukraine) di Swiss tahun 2024 hanya dihadiri oleh lima dari 11 negara Asia Tenggara, mencerminkan beragamnya prioritas geopolitik di kawasan ini. Singapura, yang secara konsisten mengecam agresi Rusia, menegaskan kembali posisinya dalam menegakkan hukum internasional. Negara ini melihat krisis di Eropa sebagai ancaman eksistensial dan sangat memperhatikan isu keamanan nuklir, terutama terkait pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporizhzhia.
Thailand, yang baru saja mengajukan diri untuk bergabung dengan BRICS, menekankan pentingnya mengakhiri konflik demi keamanan pangan global. Penolakan mereka untuk menandatangani komunike akhir mungkin terkait dengan upaya mereka untuk menyeimbangkan hubungan dengan berbagai blok ekonomi.
Presiden Filipina, Ferdinand Marcos Jr., dan Presiden Indonesia, Joko Widodo, memutuskan untuk tidak hadir secara langsung di KTT, meskipun sebelumnya menunjukkan dukungan terhadap upaya perdamaian. Ketidakhadiran ini mungkin mencerminkan skeptisisme terhadap efektivitas KTT dan adanya prioritas geopolitik lain.
Myanmar, Vietnam, dan Laos, yang memiliki hubungan dekat dengan Rusia, tidak menghadiri KTT. Vietnam bahkan mengirim perwakilannya ke pertemuan BRICS-Plus di Rusia beberapa hari sebelum KTT. Kamboja juga tidak hadir, dengan alasan ketidakhadiran Rusia sebagai faktor utama. Malaysia, meskipun mengecam agresi Rusia, memilih untuk memboikot KTT sebagai protes terhadap apa yang mereka anggap sebagai standar ganda Barat dalam menyikapi konflik internasional. Keputusan ini semakin diperkuat dengan pengumuman Malaysia untuk bergabung dengan BRICS.
Ketidakhadiran beberapa negara Asia Tenggara di KTT Perdamaian Ukraina tidak hanya mencerminkan hubungan mereka dengan Rusia dan Cina, dan menjaga keseimbangan geopolitik di kawasan, tetapi juga kepentingan ekonomi masing-masing negara dan persepsi mereka terhadap Barat. Perbedaan sikap ini menunjukkan kompleksitas geopolitik di Asia Tenggara yang akan terus mempengaruhi keterlibatan mereka dalam upaya perdamaian di masa depan.
Ketertarikan Negara-negara Asia Tenggara untuk Bergabung dengan BRICS
Di sisi lain, semakin banyak negara ASEAN yang menyatakan minat dan mempertimbangkan untuk bergabung dengan kelompok ekonomi berkembang BRICS. Para analis juga mengkhawatirkan bahwa hal ini dapat menyebabkan ketergantungan berlebihan pada Cina. Keinginan untuk mendiversifikasi opsi mereka di arena ekonomi global adalah salah satu alasan mengapa semakin banyak negara Asia Tenggara yang tertarik untuk bergabung dengan kelompok ekonomi berkembang BRICS, kata para analis, dengan Malaysia menjadi negara yang terbaru yang menyatakan minatnya.
Para ahli juga percaya bahwa para pemimpin negara-negara tersebut mungkin ingin menggunakan posisi mereka di komunitas internasional untuk menarik perhatian pemilih mereka. Dr Joseph Liow, Dekan Fakultas Humaniora, Seni, dan Ilmu Sosial di Universitas Teknologi Nanyang di Singapura, mengatakan bahwa negara-negara yang telah menyatakan minat untuk bergabung dengan BRICS tertarik pada "potensi kolektif" kelompok tersebut. "Ini adalah bagian dari perhitungan kepentingan nasional mereka sendiri, dan keinginan untuk mendiversifikasi opsi mereka di arena ekonomi global," katanya seperti dikutip Channel NewsAsia
Namun, dengan semakin banyak negara anggota ASEAN yang menyatakan minat dan mempertimbangkan untuk bergabung dengan BRICS, para analis juga mengkhawatirkan bahwa hal ini dapat menyebabkan ketergantungan berlebihan pada Cina. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand Nikorndej Balankura baru baru ini mengatakan bahwa negaranya telah mengajukan permohonan resmi untuk bergabung dengan BRICS "seminggu yang lalu", seperti yang dilaporkan oleh Reuters.
Sementara itu, dalam wawancara dengan portal berita Cina Guancha yang diposting pada 16 Juni, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim mengatakan bahwa negaranya telah "membuat keputusan" untuk bergabung dengan BRICS dan "akan segera memulai prosedur formal". Komentar Anwar dikeluarkan sebelum kunjungan resmi Perdana Menteri Cina Li Qiang selama tiga hari ke Malaysia dari 18 hingga 20 Juni. Li, yang merupakan pemimpin terkuat kedua di Cina setelah Presiden Xi Jinping, adalah perdana menteri Cina pertama yang mengunjungi Malaysia sejak 2015.
Sementara itu, pada Januari 2024, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan bahwa negaranya "masih mempelajari manfaat yang dapat diperoleh dari bergabung dengan BRICS". Negara lain seperti Myanmar dan Laos telah menyatakan minat sebelumnya untuk bergabung dengan blok tersebut, sementara Vietnam mengatakan mereka "memantau dengan cermat proses keanggotaan BRICS". Sementara itu, Singapura dan Filipina, misalnya, belum menyatakan minat untuk bergabung dengan BRICS.
Sementara beberapa analis yakin bahwa keanggotaan BRICS dapat mendatangkan manfaat besar bagi negara-negara Asia Tenggara ini, mereka juga memperingatkan bahwa hal itu dapat menyebabkan ketergantungan yang tidak proporsional pada Cina. Dr Jochen Prantl, seorang profesor hubungan internasional di Australian National University, mencatat bahwa BRICS adalah "alat kebijakan luar negeri penting bagi Cina dalam memproyeksikan pengaruhnya secara global". "Semakin banyak negara yang bergabung dengan BRICS, semakin penting BRICS menjadi pilar kebijakan luar negeri Cina, khususnya dalam konteks memimpin reformasi tatanan internasional saat ini," kata Dr Prantl.
Dr Liow dari NTU juga mengatakan bahwa anggota baru BRICS perlu memastikan bahwa keanggotaan mereka tidak menyebabkan ketergantungan ekonomi dan politik yang tidak proporsional pada Cina. "Karena Cina adalah ekonomi terbesar di BRICS, jika negara-negara Asia Tenggara bergabung dengan BRICS, mereka perlu memastikan bahwa mereka juga tidak menjadi terlalu tergantung pada Cina," katanya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News