Tahukah Kawan, Indonesia saat ini tengah menempati negara nomor satu dengan konsumsi rokok elektrik tertinggi di dunia?
Dalam catatan yang diungkapkan oleh Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia, Prof Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K), FISR, FAPSR, ada setidaknya 25% masyarakat Indonesia yang pernah mengonsumsi rokok elektrik.
“Pada 2023 terdapat 25% masyarakat Indonesia yang pernah pengkonsumsi rokok elektrik setidaknya sekali dalam seatahun. Tentunya ini menjadi ancaman bagi remaja-remaja kita,” ujarnya dikutip dari Media Indonesia.
Presentase pengguna rokok elektrik di Indonesia pun terus meningkat tiap tahunnya. Kepala UPTK3L UI, Prof. Dr. Ir. Sjahrul M. Nasri, M.Sc., mengungkapkan, dalam kurun sepuluh tahun terakhir, penggunaan rokok elektrik meningkat sepuluh kali lipat.
Menilik Rokok Elektrik, Bom Waktu Kesehatan Masyarakat Indonesia
Sementara itu, menurut laporan WHO, prevalensi konsumsi tembakau penduduk Indonesia di atas 15 tahun pada tahun 2022 telah mencapai 36,5 persen. Ini artinya, 1 dari 3 orang dewasa di Indonesia merokok.
Tingginya perokok aktif di Indonesia ini menjadi salah satu hal krusial dan menjadi perhatian bersama. Mengingat aspek kesehatan menjadi tiga besar tujuan utama dalam menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.
Untuk itu, Universitas Indonesia sebagai institusi pendidikan tinggi, bahkan menjadi perguruan tinggi tertua di Indonesia, berkewajiban untuk memberikan edukasi tentang bahaya rokok bagi perokok aktif maupun pasif, dampak yang dimunculkan, serta upaya pencegahannya.
Edukasi ini digelar melalui webinar bertajuk “Protecting Children from Tobacco Industry Interference” oleh UPT Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan(K3L) Universitas Indonesia.
Inilah Bahaya Rokok Elektrik, Bagaimana Caranya Agar Berhenti Kecanduan?
Anak Muda jadi Sasaran Empuk Produsen Rokok
Mirisnya, anak muda yang digadang-gadang akan membawa Indonesia Emas pada 2045 nanti menjadi sasaran empuk para produsen rokok, baik tembakau maupun elektrik.
Ketua Umum Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (UI), Ir. Aryana Satrya, M.M., Ph.D., IPU,ASEAN Eng., mengungkapkan, anak muda menjadi target pasar yang sangat spesial mengingat jumlahnya yang banyak dan karakteristiknya yang mudah dipengaruhi.
Hal ini dibuktikan melalui Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang menemukan adanya peningkatan persentase perokok usia muda (di bawah 18 tahun) dari 7,2% (2013) menjadi 9,1% pada 2018.
“Berdasarkan riset yang dilakukan, harga rokok dan teman sebaya menjadi dua faktor paling berpengaruh bagi anak muda yang merokok,” tulis laporan hasil riset.
Gadis Kretek dalam Iklan-iklan Rokok pada Zaman Hindia Belanda
Saat ini, rokok elektrik menjadi primadona di kalangan anak muda. Anggapannya, rokok elektrik memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan rokok konvensional. Padahal, risiko keduanya sama karena sama-sama mengandung nikotin dan menyebabkan gangguan kesehatan. Bahkan, risiko rokok elektrik dapat lebih tinggi daripada rokok konvensional.
“Rokok elektrik bukanlah substitusi rokok konvensional, namun sebagian besar pengguna rokok elektrik adalah pengguna rokok konvensional. Dual-user ini memiliki probabilitas mengidap penyakit dan komplikasilebih tinggi, produktivitas lebih rendah, serta pengeluaran kesehatan lebih tinggi dibandingkan single-user rokok. Dengan demikian, daripada beralih ke rokok elektrik, alternatif terbaik adalah berhenti merokok,” jelas Aryana.
Inilah 7 Desa Bebas Asap Rokok di Indonesia - Patut Diacungi Jempol !
Rokok Membawa Kerugian Individu Hingga Negara
Aryana dalam penjelasannya mengegaskan, dampak negatif rokok tidak hanya dirasakan oleh perokok aktif. Lebih dari itu, rokok turut merugikan negara.
Beban biaya kesehatan yang dikeluarka negara terhadap penyakit yang disebabkan oleh rokok mencapai 27,7 triliun rupiah setiap tahunnya. Angka ini mencakup biaya perawatan medis untuk berbagai penyakit akibat rokok, termasuk penyakit jantung, kanker paru-paru, dan penyakit pernapasan lainnya.
Oleh karena itu, beban yang ditimbulkan akibat rokok tidak hanya merugikan individu dan keluarga, tetapi juga sistem kesehatan nasional yang harus menanggung biaya perawatan. Akibatnya, negara kehilangan produktivitas akibat penyakit-penyakit tersebut.
Sementara itu, dalam lingkup rumah tangga, meski peningkatan belanja rokok sebesar 1%, hal itu berpengaruh signifikan pada kondisi ekonomi keluarga. Kenaikan ini dapat meningkatkan risiko kemiskinan hingga 6% dan memperburuk kesejahteraan keluarga yang sudah rentan secara ekonomi.
Ketika anggaran rumah tangga dialokasikan lebih banyak untuk rokok, dana yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pokok seperti makanan bergizi, pendidikan, dan kesehatan justru terabaikan.
Memanjakan Mata dengan Wisata Kampung Penas Tanggul, Kampung Bebas Rokok Pertama di Jakarta
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News