Istilah puisi tepat diberikan untuk karya sastra kakawin yang berinduk pada kebudayaan Jawa Kuno. Pada awalnya, kebudayaan kakawin terinspirasi dari budaya india yang disebut Kavya. Kata kakawin menurut Zoetmulder berasal dari bahasa Sanskerta, yakni Kawi yang berarti Penyair.
Kata tersebut diserap ke dalam bahasa Jawa Kuno, serta mendapatkan proses afiksasi (pemberian imbuhan awalan dan akhiran). Kata Kawi mendapatkan prefiks Ka- dan Sufiks -en menjadi kakawien. Lalu, pada vokal (i-en) terjadi persandian (i) menjadi kakawin.
Menurut penelitian dari Rubinstein, beberapa naskah yang menjadi acuan dalam pengarangan kakawin adalah naskah Canda Prosa, Kakawin Guru Laghu, Kakawin Wrtasancaya, dan Kakawin Wrtayana. Beberapa jenis naskah tersebut memiliki persamaan di samping juga perbedaan. Namun, naskah Kakawin Wrtasancaya disebutkan oleh Prof. Suarka bukan merupakan modifikasi dari kaidah-kaidah yang dipakai dalam praktik Kakawin Jawa Kuno.
Teknik-teknik persajakan yang dipakai dalam kakawin dari abad ke-9 hingga 15 tidak dijelaskan di dalamnya. Ciri-ciri kakawin yang berkembang dari abad tersebut relatif sama seperti, yakni memiliki empat baris dalam satu bait. Namun, ada kalanya memiliki tiga baris disebut dengan rahitiga.
Ini memiliki istilah khusus dalam setiap barisnya, seperti Pangawit (bait pertama), Pangenter (bait kedua), Pangumbang (bait ketiga), dan pamada (bait keempat). Masing-masing bait tersebut memiliki fungisnya dan saling tarkait satu dengan yang lainnya. Umumnya setiap satu bait kakawin memiliki jumlah wrta atau suku kata yang sama namun ada kalanya juga berbeda. Begitu pun dengan pola metris (metrum).
9 Pantangan Adat Jawa Kuno yang Tak Boleh Dilanggar
Karena kakawin merupakan karya sastra yang lahir pada jaman kerajaan (Jawa Kuno) secara langsung, ia adalah karya sastra keraton, dan tentu di dalamnya terdapat kisah-kisah kepahlawanan dan sering kali dilebih-lebihkan (artifisial).
Dalam sejarah perkembangannya, kakawin mulai terhempas karena kuatnya pengaruh Islam di Pulau Jawa. Sehingga dalam peristiwa mendesak itu, para leluhur melakukan langkah antisipasi. Langkah tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menyelamatkan kesuluruhan kebudayaan hindu serta hasil-hasil peradabannya. Majapahit yang menjadi benteng terakhir akhirnya runtuh. Namun, tidak dengan hasil kebudayaannya seperti karya sastra.
Karya sastra tersebut telah aman terselamatkan di pulau letak para dewata bersemayam. Pulau tersebut adalah Bali Dwipa Mandala. Seluruh kebudayaan Jawa Kuno termasuk tata cara ritual keagamaannya dilanjutkan di pulau ini. Masyarakat Bali pun menerima dengan tangan terbuka serta mempelajari karya-karya sastra yang kaya akan nilai keluhuran tersebut. Sehingga kakawin, kidung, dan parwa yang merupakan hasil dari kebudayaan Jawa Kuno tumbuh dan berkembang dengan subur di Pulau Dewata.
Hilirisasi dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh para pecinta sastra klasik tersebut, tercermin dalam suatu aktivitas budaya agama. Ritual keagamaan di Bali, senantiasa melibatkan unsur-unsur budaya, seperti, gambelan, tarian, serta menembangkan pustaka suci sebagai pengantar upacara yadnya.
Kelompok yang ada pun memiliki sebutannya masing-masing. Kelompok yang memainkan gambelan disebut dengan sekhaa gong. Gadis-gadis yang menari dengan iklas terikat dalam kelompok yang disebut pregina. Juga, untuk mereka yang menembangkan pustaka suci kakawin dan kidung disebut dengan sekhaa santhi.
Inggris Serahkan 120 Manuskrip Jawa Kuno Digital ke Pemda DIY
Sekhaa berarti kelompok, sedangkan santhi berarti damai. Sekha santi inilah yang menjalankan mababasan. Mababasan merupakan kegiatan masyarakat Bali yang di dalamnya diisi dengan kegiatan menembangkan pustaka-pustaka suci seperti kakawin, kidung, gaguritan, sloka, dan pustaka lainnya yang berkaitan dengan agama.

Mereka yang menembangkan pustaka-pustaka suci tersebut, diharapkan di samping menenangkan telinga para pendengarnya dengan suara merdu, diwajibkan pula dapat menyebarkan kedamaian dunia atau santhining loka, melalui petikan kakawin yang mengandung pesan moral dan ajaran budi pekerti yang luhur.
Dalam prakteknya kakawin yang ditembangkan pun beragam, seperti Kakawin Ramayana, Kakawin Arjuna Wiwaha, Kakawin Sutasoma, dan masih banyak kakawin lainnya. Selain kakawin terdapat juga kidung yang merupakan karya sastra Jawa Tengahan.
Petikan-petikan dari kakawin tersebut sejalan dengan upacara agama (yadnya) yang dilaksanakan oleh umat hindu. Seperti Kakawin Arjuna Wiwaha akan ditembangkan pada upacara Dewa Yadnya (upacara persembahan kepada para dewa). Kakawin Bharathayuddha atau Kakawin Aji Palayon akan ditembangkan pada upacara kematian. Karena isinya mengenai proses kehidupan hingga kematian itu datang. Masih banyak kakawin lainnya yang digemari oleh masyarakat Bali yang tergabung dalam kelompok atau sekha santhi.
Kakawin yang merupakan karya sastra klasik Jawa Kuno penting untuk dilestarikan. Karena di samping keindahannya secara puitis dan kandungannya yang padat akan tuntunan, ia juga merupakan hasil dari masa sejarah klasik Nusantara. Seluruh kakawin yang muncul dari abad ke-9 hingga15 merupakan cermin dari leluhur bangsa kita terdahulu.
Memeluk Budaya Jawa: Ajaran Sestradi dalam Naskah Kuno Puro Pakualaman
Mereka menyadari bahwasannya dengan menulis, membaca dan mendengarkan adalah metode belajar yang paling efektif. Pesan yang dapat kita petik ialah adanya suatu kebudayaan yang telah diciptakan oleh para leluhur, amat penting untuk dilestarikan di masa kini.
Sebab, menciptakan suatu kebudayaan tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Maka dari itu tetap hargai dan lestarikan seluruh tradisi dan kebudayaan dari para leluhur.
Rahayu sadaging jagat.
(semoga seluruh dunia mendapatkan kedamaian)
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News