cerita mohammad saidi orang biasa dalam pusaran revolusi - News | Good News From Indonesia 2024

Cerita Mohammad Saidi, Orang Biasa dalam Pusaran Revolusi

Cerita Mohammad Saidi, Orang Biasa dalam Pusaran Revolusi
images info

Hari Kebangkitan Nasional semestinya tidak hanya dirayakan sebatas upacara dan seremonial lainnya saja. Sayang seribu kali sayang kalau setiap tahun Hari Kebangkitan Nasional diperingati, tetapi kita tidak memaknainya dengan kebangkitan-kebangkitan kecil misalnya meningkatkan kualitas diri atau hal lain sebagainya.

Jika kebangkitan nasional adalah peristiwa bersejarah maka sepatutnya kita meningkatkan kesadaran sejarah di lingkungan tempat tinggal sekitar kita, barangkali itu bisa menjadi langkah aktual.

Siapa sangka kalau di sekitar tempat yang kita tinggali, terdapat seorang pejuang pada masa perang revolusi kemerdekaan? Adalah Mohammad Saidi yang sosoknya diabadikan menjadi nama sebuah jalan di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Jalan itu bukan jalan kecil ataupun gang, tetapi jalan itu ialah jalan utama yang menghubungkan kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan dengan kawasan Pondok Betung, Tangerang Selatan.

M. Saidi, begitu plang yang tertera pada bahu jalan merupakan warga asli Kampung Sawah, Petukangan yang dahulu masuk dalam Kecamatan Kebayoran Lama. Ia adalah salah satu putera dari pasangan H. Taing dan Rokiah. Menurut keterangan dari adiknya M. Idris, usia 85 tahun, kisah awal mula perjuangan M. Saidi berawal dari tim medis atau petugas kesehatan sukarelawan PETA (Pembela Tanah Air) masa pendudukan Jepang.

Raden Ajeng Kartini, Pahlawan Nasional Pejuang Emansipasi Perempuan Indonesia

"Dia enggak langsung terjun sebagai tentara yang angkat senjata, tapi tukang ngobatin sukarelawan yang terluka. Malah dulu beberapa kali dia bawain obat-obatan buat warga yang sakit," kenang M. Idris beberapa waktu lalu.

Berat rasanya pundak M. Saidi sebab menurut M. Idris lagi, sejatinya ia dilarang oleh kedua orangtuanya untuk andil dalam perjuangan revolusi para sukarelawan. Namun, kenyataan di depan mata tidak bisa ditepisnya, melihat rakyat yang hidup melarat di zaman yang penuh ketidakpastian.

Bukan ia membantah perintah orang tuanya tetapi barangkali pendidikan semasa Volk School atau Sekolah Rakyat yang pernah ditempuhnya pada tahun 1936—1939 menjadi cambuk keras baginya sehingga memilih berjuang guna hajat orang banyak.

Bergabungnya M. Saidi sebagai petugas kesehatan yang tidak langsung angkat senjata di PETA waktu itu tidak membuat begitu khawatir orangtuanya sehingga kemudian orangtuanya merestui perjuangannya.

Bukti primer riwayat M. Saidi disimpan oleh keluarganya berupa beberapa lembar memo tentang penyerahan pusaka bendera merah putih yang digunakan M. Saidi ketika berjuang pada tahun 1945 di Kebayoran Lama. Penyerahan pusaka itu diberikan oleh pihak Keluarga M. Saidi yang diwakili oleh Hamdanih kepada H. A. Salam, Lurah Kelurahan Patukangan Selatan (pada waktu itu belum Petukangan) tertanggal 17 Agustus 1983.

Bendera itu bukan saja digunakannya untuk mengobarkan semangat juang, tetapi juga digunakan oleh rekan perjuangannya untuk menutupi jasadnya yang tewas terkena pecahan granat.

Kisah Marsinah, Seorang Pahlawan Buruh asal Nganjuk yang Mengikuti Jejak Kartini

Memo itu bercerita kalau M. Saidi, pria kelahiran tahun 1925 itu tidak hanya aktif di PETA, tetapi kemudian bergabung dalam BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang selanjutnya ber-evolusi menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) setelah PETA dibubarkan. Pembubaran PETA tidak sekonyong-konyong bubar begitu saja, M. Saidi diperintahkan komandannya, yakni Sambas Atmadinata, untuk bergabung dalam pasukan kemerdekaan di kampungnya.

Ketika bergabung dalam TKR lah yang menjadi titik kulminasi perjuangannya yang gigih. Peristiwa itu terjadi Hari Kamis tanggal 23 Agustus 1945 sekitar pukul sebelas siang. Pada waktu itu terjadi konvoi pasukan Belanda dengan topeng NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang ingin menguasai kembali Indonesia termasuk di Jakarta.

Konvoi itu dilakukan dari Pos Tentara Belanda yang berada di Grogol, Jakarta Barat menuju Pos Pejuang Kemerdekaan yang saat ini ialah Asrama Polisi dekat rel kereta, Kebayoran Lama.

Dalam buku Robert Cribb berjudul Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta (1945—1949), konvoi itu juga dikenal dengan Operasi Sergap. Operasi Sergap merupakan tindakan Belanda NICA dengan melakukan penyisiran dari kampung ke kampung membasmi perlawanan rakyat.

Kabar konvoi itu diketahui oleh para pejuang sehingga M. Saidi dan rekan-rekannya termasuk di dalamnya Mansyur yang saat itu menjadi Ketua RW 05 Kelurahan Cipulir. Ketika tiba-tiba terdengar suara serentetan tembakan dari jarak kejauhan, M. Saidi dan rekan pejuang lainnya bergegas mencari posisi strategis untuk menghalang-halangi laju konvoi agar jangan sampai menuju Pos Pejuang.

Konvoi Belanda NICA itu menggunakan empat truk dan satu buah sepeda motor. Dalam Memo keluarga M. Saidi, seorang rekan pejuang lainnya yang bernama Basri berhasil menembak tepat di dada sang pengendara motor tersebut. Di posisi lain, M. Saidi sembunyi di tempat yang pernah menjadi bengkel motor Arjuna atau saat ini sekitar gedung SMPN 48.

Granat di tangan ia sudah siapkan dan sasarannya adalah truk konvoi. Ketika granat dilemparkan M. Saidi, nahas granat itu jatuh tidak begitu jauh dari tempatnya berdiri sehingga ia terkena serpihan material granat yang membuatnya terlempar ke selokan dan tewas.

Pahlawan Yos Sudarso, Melihat Lebih Dalam Perjuangan dan Pengorbanannya

Namun perbuatannya tidak sia-sia, granat itu menewaskan tiga orang Belanda NICA. Meski diketahui M. Saidi telah tewas, oleh pihak Belanda NICA jasadnya yang berada di selokan sempat disiksa, barangkali sebagai ancaman kepada para pejuang sukarelawan agar tak berbuat lebih banyak.

Persenjataan yang terbatas dari pasukan pejuang kemerdekaan membuat mereka sedikit menarik mundur. Berbarengan dengan hal itu, konvoi Belanda NICA pun tidak jadi diteruskan. Barangkali, pihak Belanda NICA juga khawatir jika konvoi dilanjutkan ke daerah yang lebih dalam, perlawanan akan semakin militan ditambah berkurangnya personil dan amunisi.

Ketika pasukan Belanda NICA meninggalkan kawasan konfrontasi, barulah rekan-rekan pejuang M. Saidi menutupi jasad M. Saidi dengan sehelai bendera merah putih. Pusaka bendera inilah yang disimpan keluarga M. Saidi dan diserahkan kepada Lurah setempat pada tahun 1983 supaya diketahui khalayak dan dapat diambil sari pati perjuangan M. Saidi dan rekan-rekannya yang tergabung dalam pasukan kemerdekaan bagi generasi mendatang.

Wilayah Petukangan, Kebayoran Lama memang dikenal area rawan dengan perlawanan rakyat pada masa itu. Selain terdapat pos pasukan TKR, dalam Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta karya Muhamad Rido berjudul Eksistensi Silat Beksi di Petukangan Tahun 1945-2019 menyatakan di wilayah tersebut terdapat para jago-jago silat yang turut pula berjuang demi kemerdekaan yang tergabung dalam laskar rakyat.

Sebut saja H. Godjalih, salah satu jago yang cukup kesohor namanya dan menjadi komandan laskar di wilayahnya. Bersama M. Saidi, keduanya menggawangi wilayah Kebayoran Lama yang memiliki keterhubungan dengan para pejuang di Bekasi—Karawang.

Kebangkitan Nasional semestinya menjadi makna penting bagi bangsa Indonesia utamanya kebangkitan dalam hal kesadaran pendidikan. Kenyataannya, di zaman mutakhir ini pendidikan menunjukkan carut-marutnya dengan lahirnya kebijakan pemerintah yang tidak mendukung pendidikan itu sendiri.

Biaya kuliah mahal sampai pihak komite sekolah yang oportunis dibalik topeng pengabdian justru menjadi oknum demi cuan. Miris, apalagi yang melakukan mengaku beragama dan religius.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AS
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.