Setiap tahun pasca perayaan Lebaran, seolah sudah menjadi tren bagi Jakarta mengalami fenomena migrasi penduduk yang signifikan. Fenomena ini bukan hanya sekadar perpindahan massa, melainkan membawa rangkaian kompleks masalah urban. Para pendatang ini hadir dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, peluang kerja yang lebih banyak, dan akses ke fasilitas sosial yang lebih lengkap.
Namun, realitas yang sering mereka temukan adalah persaingan yang ketat untuk sumber daya yang terbatas dan kesempatan yang tidak seimbang.
Migrasi menciptakan efek domino yang signifikan, mulai dari masalah kependudukan. Kedatangan penduduk baru dalam jumlah besar menyulitkan pemerintah kota untuk memperbarui dan memelihara data kependudukan yang akurat. Ketiadaan data yang valid bisa mengarah pada alokasi sumber daya yang tidak efektif dan masalah identitas yang dapat dimanfaatkan untuk praktik ilegal seperti pemalsuan identitas dan penyalahgunaan fasilitas publik.
Berdasarkan data Goodstat.id, jumlah pendatang baru usai lebaran atau arus balik selama empat tahun terakhir, pada 2020 sebanyak 24.043 orang. Lalu 2021 sebanyak 20.046 orang, 2022 sebanyak 27.478 orang, 2023 sebanyak 25.918 orang dan perkiraan tahun 2024 mencapai 15.000—20.000 orang.
Tradisi Oleh-Oleh, Berawal dari Migrasi Masyarakat yang Hidup Nomaden
Dalam hal ini, penting bagi warga dari luar Jakarta untuk memahami dan mematuhi aturan yang telah ditetapkan. Sebuah sistem kependudukan yang ketat dan efektif perlu diterapkan, di mana setiap pendatang harus terdaftar dengan benar dan proses ini harus dikontrol secara ketat. Dengan demikian, dapat membantu memastikan bahwa hanya mereka yang benar-benar memiliki prospek untuk meningkatkan kehidupan yang diperbolehkan untuk bermigrasi, sambil memastikan bahwa infrastruktur dan sumber daya Jakarta tidak terbebani secara berlebihan.
Jakarta terus menarik individu dari berbagai daerah karena adanya pemikiran memiliki peluang kehidupan yang lebih baik. Banyak dari mereka yang datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Namun, tidak semua menemukan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian atau harapan mereka, sehingga akhirnya hanya menambah jumlah tenaga kerja yang tidak terpakai.
Kehadiran mereka ikut serta meningkatkan kompetisi di dunia pekerjaan, terutama dalam sektor-sektor yang membutuhkan kualifikasi rendah hingga menengah, di mana persaingan yang lebih tinggi ini dapat menyebabkan pengangguran di kalangan penduduk lokal.
Ini Realitanya
Perlu diingat bahwa kegiatan migrasi membutuhkan bekal yang cukup baik dari segi keahlian maupun kemampuan ekonomi, karena jika melihat data Survei Biaya Hidup (SBH)2022yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), biaya hidup di Jakarta adalah yang termahal jika dibandingkan dengan kota lain di Indonesia.
Pada tahun 2022, biaya hidup di ibu kota mencapai Rp 14,88 juta per bulan. Biaya hidup di DKI Jakarta tersebut tercatat meningkat dari 2018 sebesar Rp13,45 juta, sedangkan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta sampai tahun 2023 hanya sebesar Rp 4.901.798. Total biaya hidup di Jakarta terbanyak dihabiskan untuk biaya perumahan, air, listrik, bahan bakar rumah tangga, biaya makan dan transportasi.
Migrasi ke Mobilitas Publik: Transportasi untuk Masa Depan
Dengan pekerjaan yang langka dan biaya hidup yang tinggi di Jakarta, banyak pendatang baru yang berakhir dengan kondisi keuangan yang lebih buruk, tinggal di pemukiman padat yang kurang layak, dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Selain meningkatkan angka kemiskinan di Jakarta, hal ini pun menimbulkan masalah sosial lainnya seperti kriminalitas dan ketidakstabilan sosial. Angka kemiskinan Jakarta pada Maret 2023 sebesar 4,44 persen, di mana jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 sekitar 477 ribu orang. Bayangkan jika fenomena migrasi tidak dikelola dengan baik, maka angka kemiskinan pun akan terus meningkat.
Sebagai tindak lanjut dari tren migrasi ini, sudah seharusnya menjadi fokus utama bagi pemerintah pusat untuk menerapkan strategi pemerataan pembangunan. Upaya pemerataan tersebut bisa meliputi pengembangan infrastruktur di daerah-daerah lain dan penciptaan zona ekonomi baru yang dapat menawarkan pekerjaan kepada penduduk setempat, sehingga mengurangi kebutuhan untuk migrasi ke Jakarta.
Pemprov Jakarta melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil telah melakukan pendataan pendatang baru di Jakarta pasca lebaran 2024. Periode 16-22 April 2024 mencatat total pendatang baru sebanyak 1.038 orang. Pendataan ini masih berlangsung sampai dengan bulai Mei mendatang.
Pada prosesnya dilakukan dengan meminta laporan warga yang datang atau mengurus perpindahan tempat dari pengurus RT/RW di setiap wilayah. Pendataan terhadap warga pendatang baru ke Jakarta dapat dipantau masyarakat secara luas melalui laman resmi kependudukancapil.jakarta.go.id.
Dengan mengatasi masalah ini secara holistik, melalui kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah serta partisipasi aktif dari masyarakat, diharapkan Jakarta dapat mengelola tantangan ini dengan lebih efektif dan menciptakan keseimbangan pembangunan yang lebih baik.
Migrasi yang terkontrol dan terencana dengan baik adalah kunci untuk memastikan bahwa Jakarta dapat berkembang secara sehat tanpa mengorbankan kualitas hidup atau keberlanjutan lingkungan.
Menulis Ulang Sejarah: Fosil Gua di Laos Menjelaskan Kembali Pola Migrasi Manusia
Sumber:
- https://kependudukancapil.jakarta.go.id./
- https://megapolitan.kompas.com/read/2024/04/23/17402521/dukcapil-dki-catat-1038-pendatang-baru-ke-jakarta-usai-lebaran-2024
- https://m.beritajakarta.id/read/125094/bps-ekonomi-jakarta-naik-angka-kemiskinan-turun
- https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20231212183921-532-1036348/survei-bps-biaya-hidup-di-jakarta-rp148-juta-tertinggi-di-ri
- https://goodstats.id/article/pasca-lebaran-2024-jakarta-diprediksi-bakal-sepi-pendatang-PDwVx
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News