#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung
Kawan GNFI, apabila nanti berkesempatan untuk berkunjung ke kota Banjarmasin, janganlah merasa bingung saat melihat orang Banjar melakukan transaksi jual beli. Mengapa demikian? Karena saat kegiatan tersebut, selain ucapan terima kasih, para pedagang Banjar secara spontan akan mengucapkan kata jual/juallah/dijual seadanya yang kemudian diikuti dengan sahutan tukarlah atau ditukar seadanya oleh si pembeli. Kegiatan tersebut merupakan salah satu sosio-kultural masyarakat Banjar yang disebut dengan baakad.
Baakad sendiri berasal dari kata akad yang secara bahasa diartikan sebagai perikatan. Al-Sanhury Abdul sebagaimana dijabarkan oleh Abdul Rahman Al Ghazaly mendefinisikan akad sebagai perikatan ijab dan kabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan kerelaan kedua belah pihak, dalam hal ini penjual dan pembeli. Dari definisi ini Kawan GNFI dapat melihat adanya sentuhan nilai Islam dalam kegiatan jual beli pada masyarakat Banjar. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ersis Warmansyah Abbas yang menyatakan bahwa nilai-nilai budaya Banjar identik dengan nilai-nilai Islam.
Cermin dari Sebuah Integritas dan Kejujuran
Budaya baakad dalam kegiatan jual beli di kalangan orang Banjar mencerminkan integritas dan kejujuran. Cerminan ini terlihat sesaat sebelum mencapai akad. Pedagang umumnya akan memperlihatkan kondisi barang dagangannya kepada pembeli, termasuk kekurangan serta harga yang ditawarkan. Jika pembeli setuju untuk membeli dengan harga yang telah disepakati melalui tawar-menawar, mereka akan melakukan baakad dengan mengucapkan kata dijual dan ditukar seadanya. Penulis bahkan pernah menemukan versi yang lebih lengkap seperti "Dijual seadanya barang dengan harga Rp 25.000, angsulannya (kembaliannya) Rp 25.000".
Budaya baakad yang telah mengakar dalam setiap transaksi jual beli di masyarakat Banjar diyakini mampu memberikan kepuasan dan keadilan bagi kedua belah pihak sehingga menciptakan atmosfer kepercayaan dan hubungan yang harmonis antara keduanya.
Tak Hanya Syarat Sah, Tapi Juga Harmonisasi Hubungan Penjual dan Pembeli
Penulis memiliki pengalaman saat menemani teman berbelanja di pusat perbelanjaan pakaian Banjarmasin. Baik teman penulis maupun pedagang terlibat dalam tawar-menawar yang sengit. Akhirnya, teman penulis dengan tegas mengatakan, "Saitu haja paman ai harganya. Mun labih dari itu, ulun kalain (bila harganya lebih dari itu, saya akan berbelanja ke toko lain)" sambil berpura-pura pergi ke toko lain. Tak lama kemudian, pedagang memanggil kembali dan menanyakan apakah harga yang ditawarkan bisa sedikit dinaikkan. Akan tetapi teman saya tetap bertahan dengan tawarannya. Akhirnya pedagang setuju dan bersepakat dengan baakad. Sang pedagang menyampaikan "dijual seadanya" diikuti dengan "ditukar seadanya. Minta rela" oleh teman penulis.
Dari pengalaman tersebut, terlihat bahwa baik penjual maupun pembeli sering kali menggunakan berbagai “trik” negosiasi yang dapat memunculkan perilaku yang tidak diinginkan atau bahkan ketegangan yang bisa merusak hubungan sosial mereka. Pada situasi ini, baakad tidak hanya menjadi syarat sah dalam jual beli, tapi juga menjadi alat untuk meredakan ketegangan dan memunculkan kerelaan dari penjual maupun pembeli.
Penolak Musibah, Menarik Keberkahan
Saladin Ghalib dan Abdurrahman Sadikin dalam bukunya mengungkapkan bahwa baakad adalah salah satu dari tujuh kebiasaan disiplin yang dilakukan setiap hari oleh pedagang Banjar yang berlangsung terus menerus hingga saat ini. Para pedagang percaya dengan melakukan akad jual beli, bisnis mereka akan langgeng, penuh berkah dan terhindar dari musibah dalam berdagang.
Sebagai contoh, seorang pedagang jukung tradisional (perahu kecil) mengaku selain menjaga kualitas bahan baku, dia juga selalu mengucapkan akad jual beli kepada pelanggannya. Dia percaya dengan baakad, jukung buatannya lebih panjang umur dan jarang mengalami kebocoran. Hal ini tentu membuat bisnis jukungnya bertahan lama karena pembeli merasa puas.

Hal serupa juga dituturkan oleh pedagang itik Alabio yang mengalami kerugian besar akibat wabah flu burung beberapa tahun yang lalu. Atas nasehat dari Tuan Guru, dia dianjurkan untuk selalu menutup kegiatan jual beli dengan baakad sehingga sedikit demi sedikit usahanya kembali bangkit.
Bisa dikatakan baakad bukan hanya sekedar tradisi atau kebiasaan, tetapi juga merupakan cara yang efektif untuk menghindari potensi kerugian dan mendatangkan keberkahan dalam dunia perdagangan. Melalui akad jual beli, hubungan antara penjual dan pembeli dapat terjaga dengan baik sehingga menciptakan lingkungan bisnis yang stabil dan berkelanjutan.
Tetap Relevan dengan Perkembangan Zaman
Budaya baakad telah membentuk fondasi kokoh dalam kehidupan sehari-hari orang Banjar. Bagi mereka, suatu transaksi jual beli tak lengkap tanpa baakad. Kawan GNFI tentunya dapat dengan mudah menemui praktik ini, baik di pasar tradisional, toko kelontong, bahkan kadang-kadang di retail modern di Banjarmasin. Khusus di retail modern, biasanya baakad akan terlaksana apabila si pembeli memulai terlebih dahulu mengucapkan tukarlah.
Budaya baakad kini juga mengikuti alur perkembangan zaman. Bukan hanya sekadar ucapan lisan, tetapi juga telah merambah ke media tulisan. Frasa dijual seadanya kini dapat ditemui di selembar struk belanja atau stiker di aplikasi seperti WhatsApp. Perkembangan ini tidak hanya menunjukkan adaptasi yang cerdas, tetapi juga membuktikan bahwa budaya baakad terus hidup, relevan, dan dinamis di tengah perkembangan zaman yang terus berubah.
.png)
Kawan GNFI, budaya Baakad pada masyarakat Banjar merupakan sebuah bukti sejarah bahwa negeri kita dulunya adalah melting pot kebudayaan asli dan kebudayaan luar. Budaya baakad telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kekayaan budaya Indonesia yang beragam dan menakjubkan sehingga harus terus dilestarikan sebagai warisan berharga bagi generasi mendatang.
Referensi:
Abbas, Ersis Warmansyah. 2013. Masyarakat dan Kebudayaan Banjar sebagai Sumber Pembelajaran IPS: Transformasi Nilai-Nilai Budaya Banjar Melalui Ajaran dan Metode Guru Sekumpul. Disertasi Doktor pada Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan.
Al Ghazaly, Abdul Rahman. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ghalib, Saladin dan Abdurrahman Sadikin. 2022. Resiliensi dan Ketaatan Entrepreneur Urang Banjar Terhadap Ajaran Agama. Makassar: CV. Mitra Ilmu
Nasrullah. 2016. Jual Seadanya (Telah Antropologis terhadap Implementasi Ajaran Islam dalam Akad Jual Beli pada Orang Banjar). Melalui idr.uin-antasari.ac.id
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News