Melihat Nilai-nilai Gotong Royong dari Ritus Wela Gendeng dalam Upacara Wagal
Oleh: Virgilius Bril Gratiano Parus
Sumber: Dokumen Pribadi
#LombaArtikelIPKN2023
#PekanKebudayaanNasional2023
#IndonesiaMelumbung untuk Melambung
Wagal merupakan betuk perkawinan adat dalam kebudayaan masyarakat Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Perkawinan adat (wagal) bagi masyarakat Manggarai merupakan suatu hal yang bersifat sakral, sebab momen ini mempertemukan manusia dengan leluhur dan dengan sang Pencipta (Mori jari agu dedek). Berlangsungnya upacara wagal tidak hanya melibatkan kedua mempelai. Namun lebih dari itu, kedua keluarga besar yang dalam kebudayaan Manggarai disebut sebagai anak rona (keluarga mempelai wanita) dan anak wina (keluarga mempelai pria) juga mempunyai peranan besar dalam berlangsungnya upacara wagal. Salah satu ritus inti dalam upacara wagal adalah ritus wela gendeng atau karong molas.
Wela gendeng atau karong molas merupakan ritus tersendiri dalam upacara wagal, di mana mempelai wanita akan diarakkan keluar dari kamarnya menuju ruang tamu sebagai ruang sentral upacara. Ritus ini dikendalikan sepenuhnya oleh anak rona sa'i. Salah satu keunikan wela gendeng terletak pada bagaimana cara mempelai wanita keluar dari kamarnya menuju ruang tamu. Mempelai wanita akan menduduki sebuah bantal besar (tange) yang kemudian akan diangkat oleh dua orang pemuda dari rumpun anakrona sa'i. Prosesi ini akan diramaikan dengan bunyi gong dan nyanyi-nyanyian. Acara di awali dengan masuknya satu atau dua orang pemudi sebagai pengantin bayangan (molas adong) untuk melihat kesetiaan pengantin pria. Setelah pengantin bayangan kembali ke belakang, barulah sang mempelai wanita yang asli diarakkan masuk.
Sumber: Dokumen Pribadi
Pada saat diarakkan masuk, memepelai wanita akan ditemani oleh beberapa orang keluarga dari rumpun anak rona sa'i. Mereka yang bertugas menghantar mempelai wanita mempunyai fungsi dan tugasnya masing-masing. Beberapa orang akan bertugas menyanyikan lagu adat berjudul sorong ge, sementara yang lainnya akan menjadi pembawa persembahan, mengangkat pengantin, membunyikan gong, atau sekedar memegang payung. Bagaimana kombinasi mereka dalam menghantarkan sang mempelai wanita kepada mempelai pria menjadi ciri khas tersendiri dari ritus wela gendeng. Nilai kebersamaan dan gotong royong secara nyata ditunjukkan oleh "group pengantar" ini. Elemen tugas yang satu menjadi pelengkap sekaligus pewarna bagi elemen tugas yang lain.
Nilai kebersamaan dan gotong royong yang pertama ditunjukkan oleh group nyanyi dan pembunyi gong. Pada saat mengarakkan mempelai wanita, group nyanyi dari rumpun anak rona sa'i akan menyanyikan sebuah lagu adat yang berjudul sorong ge. Iringan pemberi seni lagu ini adalah bunyi gong. Bunyi gong dengan kecepatan tetap akan menjadi pengiring sekaligus pemberi tempo bagi para penyanyi. Demikian potret gotong royong dari para penyanyi dan pemain gong.
Sumber: Dokumen Pribadi
Nilai gotong royong yang kedua ditampilkan oleh mempelai wanita dan seorang ibu yang bertugas memegang payung. sebelum memasuki ruang tamu, mempelai wanita akan terlebih dahulu didandani secantik mungkin. Saat perarakkan berlangsung, sang ibu pemegang payung akan mengambil posisi tepat di samping mempelai wanita. Payung tersebut adalah pemberi teduh (mbau konang) yang berfungsi melindungi sang mempelai wanita dari hujan atau teriknya panas matahari (kudut cakan leso bombang agu ti'ik leso biring). Selain untuk menunjukkan restu sang ibu, proses ini juga bermakna bahwa sang ibu ingin anaknya tetap cantik di hadapan mempelai pria (tidak luntur dandanannya oleh panas dan hujan) sebagaimana diinginkan juga oleh mempelai wanita itu sendiri.
Sumber: Dokumen Pribadi
Nilai gotong royong dan kebersamaan yang ketiga datang dari mempelai wanita dan kedua pemuda yang mengangkatnya. Prosesi wagal menjadi momen berharga bagi seeorang mempelai wanita. Di sana, ia akan secara resmi menikah secara adat dengan pasangannya. Untuk itu, dukungan keluarga besar dan keanggunan serta kewibawaannya di depan mempelai pria dan anak wina merupakan hal krusial. Kedua pemuda yang bertugas mengangkat sang mempelai wanita berusaha untuk mewujudkan hal itu. Apa yang mereka lakukan memberikan isyarat bahwa keluarga besar mempelai wanita (anak rona) secara penuh mendukung hubungan mempelai wanita dan mempelai pria. Pada momen ini juga, mereka hendak menampilkan keanggunan dan kewibawaan mempelai wanita di depan keluarga besar mempelai pria (anak wina) sebagaimana yang juga diinginkan oleh mempelai wanita.
Wela gendeng atau karong molas menampilkan sejuta nilai kebersamaan dan gotong royong dari upacar wagal. Nilai-nilai ini yang kemudian menjadi alasan mengapa upacara wagal mesti terus dilestarikan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News