Berkenalan dengan suku Sawang memberikan pengalaman berharga bagi diri sendiri. Pertama kali berkunjung, saya dan rekan-rekan saya langsung disambut dengan keriangan dan kehangatan yang terpancar dari wajah mereka. Mereka begitu hingar bingar ketika mengetahui bahwa saya dan rekan-rekan saya akan melakukan penelitian selama sebulan penuh bersama mereka.
Suku Sawang adalah suku minoritas yang bermukim di wilayah Desa Selingsing, Kabupaten Belitung Timur. Dahulu, mereka semua adalah suku laut. Namun kini, mereka sudah bermukim di darat. Katanya, mereka pindah karena turut membantu proses pertambangan timah masyarakat di Kabupaten Belitung Timur.
Berbeda dari masyarakat umumnya, suku Sawang dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi kebersamaan dan kebersamaan. Mereka hidup secara komunal. Mereka memiliki pemukiman berbentuk huruf U. Pemukiman tersebut terdiri dari 45 pintu di mana 1 pintu bisa diisi lebih dari 2 kartu keluarga. Bentuk rumah mereka dibuat sama setara satu sama lain. Saya pikir, hal itulah yang membuat keharmonisan terus tumbuh subur dalam masyarakat suku Sawang.
.jpg)
Melalui program Kemah Budaya Kaum Muda (KBKM) besutan Kemdikbudristek, saya dan rekan-rekan saya mendapatkan kesempatan untuk mengusung inovasi berupa kamus digital bahasa Sawang. Kami mengusung kamus digital bertajuk BASKARA (Bicara Asli Sawang, Kebudayaan, dan Rasa Adat). Inovasi ini sangat penting untuk melestarikan dan memajukan kebudayaan suku Sawang, khususnya dalam bidang bahasa.
Sungguh miris rasanya ketika mengetahui penutur jati bahasa Sawang hanya tersisa segelintir orang saja. Ditambah lagi, bahasa Sawang tidak memiliki sumber tertulis yang dapat dijadikan acuan untuk bahan pembelajaran. Bermula dari permasalahan itulah, saya dan tim menggagas kamus digital bahasa Sawang untuk mendokumentasikan kosakata dan dialek bahasa Sawang agar tidak habis tergerus oleh kedigdayaan zaman.
Tidak hanya itu, kami juga menulis sebuah buku yang membahas kebudayaan suku Sawang. Harapannya, buku tersebut dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat luas terkait suku Sawang. Dengan begitu, kebudayaan suku Sawang dapat dikenal oleh banyak orang.

Saya dan tim betul-betul melakukan riset manual mulai dari 0. Mulai dari mencatat lema bahasa Sawang, membubuhkan makna di setiap lemanya, hingga merekam audio pengucapan lema bersama masyarakat suku Sawang. Selama proses itu, saya banyak berinteraksi bersama Nenek Bai. Beliau merupakan salah satu masyarakat suku Sawang sekaligus penutur jati bahasa Sawang. Meskipun beliau tidak dapat membaca dan menulis, tetapi beliau tetap berupaya untuk memberikan informasi mengenai bahasa Sawang kepada saya dan tim.
Bagiku, keindahan Negeri Laskar Pelangi sejatinya ialah kesederhanaan dan kebahagiaan yang selalu tumbuh subur dan lestari dalam benak masyarakat suku Sawang. Di sini, aku banyak belajar bahwa untuk bahagia ternyata tidak perlu dengan berlewah dalam berbagai hal. Menjadi bahagia rasanya dapat dirayakan dengan kesederhanaan. Melihat anak-anak suku Sawang ceria bermain tanpa gawai di tangan mengingatkanku pada masa kecil. Betapa beruntungnya mereka, hidup dengan tidak mengandalkan gawai sebagai hiburan. Mereka tumbuh sebagaimana seharusnya. Berani kotor, jatuh dan menangis, lalu kembali berlari.

Terima kasih, suku Sawang! Bertemu dan menjajaki kalian adalah pengalaman yang sungguh luar biasa. Kiranya kelak nanti, saya berharap dapat kembali lagi untuk meramu kebahagiaan bersama kalian. Negeri Laskar Pelangi ini patut bersyukur karena memiliki kalian, mutiara indah dan berharga.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News